Bila Sang Waktu Telah Pergi Semua Akan Kembali Hanya Amal Yang Akan Menemani

Titian Qolbu

Sabtu, 17 Juli 2010

RENUNGAN

Renungan Untuk Kita
nafsu terkadang memberontak kesakitan bila menginjak kerikil-krikil kecil! Begitulah Nafsu, terkadang diri tak kunjung lurus terpimpin oleh-Nya. Apa boleh buat, ternyata kesadaran itu masih bertopeng dan berjubah kemunafikan!
“Dan apabila Kami beri ni’mat kepada manusia berpalinglah ia; dan ia menjauhkan dirinya,; dan apabila kesusahan menimpanya berputus asalah ia.” (QS. Al Israa (17) 83)

Pengendalian Diri Hanya Dengan Mengendalikan Nafsu
Seakan-akan kita hanya menginginkan hidup seorang diri, Malah bila bertemu manusia yang lain kita anggap sebagai pesaing sehingga tak jarang kita ingin menyingkirkannya. kita bersikap keras kepala, seakan-akan kitalah sang jagoan! Sungguh sayang, nasib si jagoan, jagoan umumnya berakhir di kerangkeng , nasibnya amatlah mengenaskan. Akibatnya; hidup sia-sia.
Sia-sia,
Karena manusia dicipta-Nya bukan sekedar menyuarakan ilmu teori tanpa bukti nyata kemakmuran ruhani jasmani. Juga bukan untuk bicara tanpa hakekat kebenaran atau
untuk beradu argumentasi akal kepala. Manusia telah dibekali-Nya dengan potensi diri yang tertata rapi. Lurus kokoh-kuat-indah potensi fitri manusia: ruh, rasa-akal hati dan nafsu.
Rasa-akal-hati berpilin sempurna, mengendali manusia. Ruh adalah titisan kesucian-Nya; hati pengambil keputusan perbuatan, sedangkan nafsu-logika sekedar pelaksana. Hati yang tegak kepada Illahi adalah tahta-Nya, berfungsi meneruskan getaran illahiah, bukti nyata adanya tali hubung kasih dan cinta antara Allah dan hamba. Getaran Illahiah itulah tali Allah penyelamat hidup manusia. Getaran itulah yang seharusnya ditangkap oleh “antena” hati, wadah akal fitrah. Kondisi fitrah setiap manusia itu tercapai bila ia menyediakan hatinya sebagai tahta Illahi, dan itulah kondisi manusia khalifah;
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. (QS. Al Baqarah (2)30)
Jelas bahwa manusia yang kembali fitrah bukanlah sejenis dengan hewan yang senang mengadu tanpa menggunakan logika dan akal sehat, bukan pula yang menganggap diri dapat mengatasi semua persoalan hidup. Ia adalah yang tergantung mutlak kepada Rabbnya, karena sadar siapa Yang Maha Mengetahi keselamatan hidupnya. Ia selamat justru karena hanya berpegang erat pada tali Allah.
kadang dalam fikiran mulai ingin tunduk-patuh, bertakwa. Ia mulai bertekad tak mau lagi bermaksiat hati dengan mengandalkan ilmu diri, yang terbukti hanya menyakitkan kepala! Pening kepala karena ilmu diri tak dapat menjawab hidup hakiki. Ia mulai bertekad mendekat kepada Rabbnya.kita mulai menyadari Dia Allah yang menganugerahkan segalanya; kebersamaan dengan-Nya sebagai ganti ketenaran diri, kasih-sayang-Nya indah tak terbandingkan, oleh kasih ibu manapun. Manusia yang akan bertobat, mulai penuh harap dan optimis menghadapi hidup. mulai terbuka akal-hatinya bahwa yang lebih berguna untuk membebaskan diri bukan hanya menggunakan keakuan. keseimbangan, namun hatinyalah yang mengantarnya jumpa kedamain dan kebenaran hakiki. Mengiringi kedamaian ruh untuk jumpa kembali Rabbnya! Bersaksi kembali kepada-Nya seperti di alam ruh.
“Bukankah Aku Rabb kalian?” Mereka berkata: “Ya betul, kami menyaksikan ” (QS. Al A’araaf (7) 172)

Berusaha Menghilangkan Lumut Hati
Memang, sungguh berbeda teori dan kenyataan. Ketika Dia Allah seakan berlari menyambut si hamba yang baru selangkah hendak mendekat pada-Nya, seolah dengan santun, Dia Allah pelan-pelan hendak memberi bukti bahwa yang dicintai kita tak ada guna. Menjeritlah si Manusia yang hendak berpisah dengan kesia-siaan gelanggang adu kesombongan ilmu suara tanpa bukti nyata. Diri tak rela kehilangan kebanggaan. Makin tebal lumut hati oleh manisnya penghargaan ilmu-ilmu hanya mengandalkan kekuatan suara banyaknya harta, tingginya kepangkatan yg akhirnya apa yg di ucapkan, dilakukan tanpa hakekat, makin terasa sakit bagi si hamba.
Maksud baik Dia Allah hendak memberi bukti dan kemudian mengganti ilmu diri dengan ilmu hakiki, disambut si hamba dengan keluhan! Tak rela berpisah dengan penghargaan-pengakuan dari lingkungan! Dihargai dan diakui memang ni’mat. Tapi sesungguhnya itulah hijab pemisah hati dan Rabbnya. Tak disadari, itulah maksiatnya hati terhadap Al ‘Aliim. Tak sadari, demikian itulah jalan Abu jahal; merasa mengetahui segala, seolah ilmunya menguasai alam. Bermegah-megah dalam puncak kesombongan keilmuan, tak sadar bahwa dirinya telah mendustai kebenaran hakiki yang dibawa oleh Rasul-Nya; Dia berkata:
“Bahkan bukankah aku lebih baik daripada orang ini yang hina dan hampir tak bisa menerangkan (kebenarannya)?” (QS. Az Zukhruf (43) : 52)
Andai kita sebagai manusia mau merenungi, memandangi. tentu kita akan tahu hati yang penuh Lumpur dan lumut kesombongan. Tersentak ia oleh suara halus nuraninya; patutkah kau beradu kepandaian dengan Dia Allah Yang Maha Mengetahui, yang justru hendak mengajarimu? Padahal Dia Allah hanya akan menempati hati yang telah pantas menjadi tahta-Nya, yang kosong bersih hanya terisi cermin sifat asma-Nya Yang Maha Indah.Di hatilah Allah akan memudahkan pemahaman ilmu-ilmu qur’ani yang hakiki, bukan di logika,
“Sesungguhnya mengumpulkannya dan membacanya itu adalah atas tanggungan Kami ……… Kemudian, atas tanggungan Kamilah penjelasannya.” (QS. Al Qiyaamah (75) : 17 dan 19)
Giling Tebu, Taubat Nafsu.
Andaikata KITA MAU menggunakan akal-budi, dapat belajar dari tanah tegalan tempat orang menanam tebu. Kulit tebu keras. Kulit tebupun ada yang hitam. Tapi, tebu bermanfaat untuk manusia. Kulit dipecah, serat digiling, air disuling dan diproses mengkristal. Manusia berubah seperti putih-manisnya kristal-kristal gula, karena tertatanya kembali susunan rapi semua potensi diri. Rasa-akal-hatinya sekedar sebagai buluh penyalur getaran Illahiah dan air ruhani yang menetas, pembuat sejuk dan subur lingkungan. Membuat tunas keimanan dan keilmuan tumbuh kokoh dan tegak lurus ke arah baik-benar-indah menurut ukuran Allah.
KALAU MAU merenung makna kekhalifahan diri. Betapa bahagia jika kembali pada Kefithrahan seperti itu, menjadi manusia yang memang dicipta-Nya menjadi khalifah. Bertaubat,jera diri mengembara di daerah angkara kepalsuan nafsu. Bertaubatnya adalah pertanda bahwa diri tak lagi mau bermaksiat hati, tak mau lagi tak mengesakan Allah! Tunduknya nafsu, meskipun sakit, sesungguhnya adalah rahmat. Itulah awal dari tegaknya Al Qur’an dan perbaikan dalam diri. Dan bertaubat bukanlah dunia teori, tak cukup hanya berkata kosong.
“Kecuali mereka yang telah bertaubat dan mengadakan perbaikan dan menerangkan (kebenaran), Maka mereka Itulah yang Aku ampuni dan Akulah yang Maha menerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Baqarah (2) : 6)

0 komentar:

Posting Komentar