Bila Sang Waktu Telah Pergi Semua Akan Kembali Hanya Amal Yang Akan Menemani

Titian Qolbu

Senin, 19 Juli 2010

DUNIA TAK BISA BERHARAP BANYAK PADA AS

SUDAH DI beritakan di MEDIA MASSA baik Koran maupun Elektronik ada suatu peristiwa besar yang luput dari perhatian dunia tepatnya pada 16 maret 2003. Hari itu, seorang wanita berkebangsaan AS yang bernama Rachel Corrie berusia 23 tahun telah menjadi tumbal untuk sebuah perjuangan hak asasi manusia dalam rangka memperoleh tempat tinggal yang layak untuk rakyat gaza . Ketika itu dia berjuang sendirian, berhadapan dengan kekuatan raksasa yang menakutkan ( thank-thank Israel), Rachel terlentang di antara rumah warga Palestina dan deretan buldozer milik Israel, di kawasan Rafah, Jalur Gaza. Rachel Corrie tindakannya dilakukan untuk menentang penggusuran ilegal yang dilakukan Israel atas perumahana milik warga Palestina.
Israel memang biadab tak bisa luluh oleh sikap Rachel. Maka, tanpa pikir panjang,akhirnya (tubuh Rachel ) di lindas oleh Buldozer yang menuju perumahan warga Palestina, yang menjadi sasaran utamanya. Tubuh Rachel hancur, sosoknya pun sulit dikenali dan tak banyak yang tahu, apalagi peduli. Kuatnya kekuasaan yang dimiliki Israel dengan back up dari Amerika Serikat, menjadikan nama Rachel hilang dari sejarah, meski video yang menggambarkan Rachel tengah meregang nyawa itu bertebaran di YouTube.
Namun tidak semuanya lupa. Sebuah lembaga bernama The Centre On Housing Rights and Eviction (COHRE) memberikan penghargaan Pembela Hak-hak Perumahan 2003 kepadanya. Rachel dianggap sebagai ikon dari sebuah penentangan terhadap ketidakadilan yang masih saja subur di muka bumi ini. Penghargaan itu juga sebagai penghormatan atas kekuatan, dedikasi dan keberanian Rachel yang telah menempuh risiko maksimal untuk sebuah perjuangan Hak Asasi Manusia (HAM).
Berselang tujuh tahun dari peristiwa itu tepatnya pagi hari 31 Mei 2010, iring-iringan enam kapal di perairan yang tengah menuju Jalur Gaza dihentikan tentara Israel. Kali ini belasan nyawa meregang. Misi kemanusiaan itu pun terhenti. Dunia kembali berteriak, meski sejak awal sudah diyakini tak akan membuat Israel bertekuk lutut pada hukum moralitas dan kemanusian yang umumnya dianut dunia internasional.
Tapi, apakah kemudian insiden ini membuat usaha itu padam? Ternyata tidak. Tanpa banyak diketahui publik, sebenarnya ada tujuh kapal yang ikut dalam rombongan ke Gaza yang kemudian “dibajak” pasukan Zionis itu. Namun, kapal ketujuh ini tertinggal jauh dari rombongan karena kerusakan mesin. Dan, kapal itu bernama Rachel Corrie.
Di atas kapal ini, terdapat 15 orang aktivis. Di antaranya adalah Pemenang Nobel Perdamaian Irlandia Utara Mairead Corrigan-Maguire, mantan diplomat senior PBB asal Irlandia, Denis Halliday, dan beberapa warga Irlandia lainnya. Meski enam kapal rekannya tak kuat menembus blokade, mereka tetap bertekad melanjutkan perjalanan.
Pemerintah Irlandia sendiri sudah resmi meminta Pemerintah Israel agar mengizinkan kapal milik Irlandia itu merampungkan perjalanannya dan menurunkan pasokan bantuan kemanusiaan di Gaza. Namun, permintaan itu telah ditolak pihak Israel. yang menarik dari kehadiran MV Rachel Corrie, sebuah kapal dagang yang dibeli para aktivis pro-Palestina. Rachel seorang warga AS, tapi aktivis Irlandia yang kemudian dengan bangga memberi nama kapal mereka dengan sosok wanita pemberani ( Rachel Corrie). DAN INI MERUPAKAN TAMPARAN memalukan bagi AS, kita bias bayangkan penghargaan bagi warganya malah diberikan negara lain, dan di AS nama Rachel Corrie seakan-akan tidak ada bahkan dilupakan.
AS memang tak pernah sungguh-sungguh menginginkan Palestina menjadi sebuah negara yang berdaulat. Kalaupun secara kasat mata AS terlihat ingin membentuk kawasan Timur Tengah yang lebih tenang, itu tak lebih untuk membangun citranya sebagai negara adikuasa. Mungkin kita masih ingat ucapan Presiden AS Barack Obama dalam beberapa kesempatan pidatonya terasa indah di dengar dan meyakinkan , tapi sesuaikah apa yang di ucapkan Barack Obama dengan kebijakan yang diambil pemerintah AS.
Setelah memenangkan Pemilihan Presiden AS pada Selasa 4 November 2008 di Grant Park, Chicago, Illinois Barack Obama berpidato Di depan para pendukungnya antara lain dia mengatakan: Dan untuk semua yang malam ini menyaksikan dari luar pantai-pantai kita, dari gedung-gedung parlemen dan istana-istana, bagi mereka yang mendengarkan dari radio di sudut dunia yang terlupakan, cerita kita satu dan nasib kita saling terhubung. Fajar baru kepemimpinan Amerika sedang menyingsing. Kepada kalian yang meruntuhkan dunia, kami akan mengalahkan kalian. Kepada kalian yang mencari perdamaian dan keamanan, kami mendukung kalian.
Pidato Barack Obama di atas ternyata jauh dari apa yang kita lihat saat ini tidak sesuai dengan kenyataan. Apa yang dilalukan Israel di perairan Internasional terhadap para relawan kemanusiaan dari berbagai negara pada dini hari itu jelas-jelas sudah meruntuhkan tatanan hukum yang dianut dunia internasional, Yaitu HUKUM lnternasional sangat bertentangan adakah tindakan Negara adikuasa (AS) terhadap Israel. Padahal jelas apa yang dilakukan para relawan adalah bagian dari pencarian kedamaian dunia dan rasa aman bagi rakyat Palestina.
Tapi, yang kita lihat kemudian, Obama tak mampu berkata-kata. Dia hanya buru-buru menelepon Perdana Menteri Turki Recep Tayyip Erdogan untuk menyatakan simpati. Sedangkan untuk Israel, tak ada sama sekali kritik atau nada kecewa atas perilaku keji yang diperlihatkan negara itu. Bahkan, Wakil Presiden Amerika Serikat Joe Biden terang-terangan membela blokade yang dilakukan Israel atas Gaza. Menurutnya, Israel berhak membela diri, karena relawan memaksa masuk ke wilayah Gaza yang diblokade Israel.
Pada kesempatan lain, Obama juga berpidato untuk pertama kalinya sebagai Presiden ke-44 AS, pada Selasa 20 Januari 2009, di Capitol Hill, Washington D.C. Dengan nada pelan dia berucap: Bagi dunia Muslim, kami akan mencari cara baru ke depan berdasarkan pada kepentingan bersama dan saling menghormati. Bagi para pemimpin dunia yang berusaha menanam bibit konflik, atau menyalahkan dunia Barat atas kesulitan-kesulitan yang dialami masyarakatnya, ketahuilah bahwa rakyat Anda akan menilai Anda pada apa yang Anda bangun, bukan pada apa yang Anda musnahkan. Bagi mereka yang hendak menggenggam kekuasaan melalui korupsi dan kekejian dan membungkam orang yang tidak setuju pada kebijakan mereka, yakinlah bahwa kalian berada pada sisi yang keliru, tapi kami akan mengulurkan tangan jika kalian tidak lagi mengepalkan tinju.
Semua hal-hal negatif yang dia sebutkan, seperti pemimpin yang berusaha menanam bibit konflik dan mereka yang membungkam pihak yang tidak setuju, bukankah identik dengan perilaku yang ditunjukkan Israel? Lantas, kenapa Obama tak memberikan sedikitpun pernyataan bahwa negara yang dilindunginya itu telah berbuat keliru?
Sebenarnya, jawaban untuk semua itu sudah diucapkan Obama dalam kunjungannya ke Mesir, Kamis 4 Juni 2009. Selama 55 menit Obama berbicara di aula Universitas Kairo. Pidatonya secara khusus membahas Islam dan AS, termasuk terorisme, isu Irak, Iran, dan konflik Israel-Palestina. Di antara pidato panjang itu Obama mengatakan: Ikatan yang kuat antara Amerika dan Israel telah banyak diketahui. Ikatan ini tidak dapat dipatahkan. Ini lahir berdasarkan ikatan budaya dan sejarah, serta pengakuan bahwa aspirasi atas sebuah tanah air Yahudi berakar dari sebuah sejarah tragis yang tidak bisa diingkari.
Namun, pada bagian lain dia juga menaruh empati pada nasib bangsa Palestina, dengan mengatakan: Di sisi lain, tidak bisa diingkari bahwa rakyat Palestina –baik yang Muslim maupun yang Kristen– telah menderita dalam perjuangan memperoleh tanah airnya. Lebih dari enam puluh tahun, mereka telah merasakan sakitnya tidak memiliki tempat tinggal. Banyak yang menunggu di kamp-kamp pengungsian di Tepi Barat, Gaza, dan tanah-tanah tetangga untuk sebuah kehidupan yang damai dan aman yang belum pernah mereka jalani. Mereka menerima hinaan setiap hari –besar dan kecil– yang hadir bersama pendudukan. Jadi janganlah ada keraguan: situasi yang dihadapi rakyat Palestina tidaklah dapat ditoleransi. Amerika tidak akan bersikap tidak acuh terhadap aspirasi sah Palestina atas martabat, kesempatan, dan sebuah negara milik mereka sendiri.
Sekarang, dengan sikap yang ditunjukkan, apakah bisa dikategorikan bahwa AS cukup acuh dengan blokade yang dilakukan Israel atas Gaza. Acuhkah AS akan banyaknya korban tak berdosa yang jatuh karena “kesalahan” mereka memberi bantuan bagi sesama di bumi Palestina? Tidak, AS lebih memilih DIAM dan tidak pernah berbuat apa-apa dan bahkan tidak berusaha untuk memberikan tekanan terhadap Israel.
Nampak jelas, tak ada empati pemerintah AS bagi korban Mavi Marmara . memang apapun yg terjadi di luar atau di dalam negrinya sepanjang AS tak terganggu sekalipun tewas warga AS yang bernama Rachel Corrie oleh buldozer Israel, sulit untuk mengharapkan AS akan bersuara ketika warga negara lain ditembak pasukan Zionis. Kita layak bersedih karena SUDAH terbuai dengan ucpaan-ucapan kalimat indah di banyak panggung dimana Obama berpidato, padahal Obama tak berbeda dari pemimpin AS lainnya. Obama bukanlah contoh figur yang bisa diharapkan untuk mempersatukan banyak perbedaan dan banyaknya kekacauan,kemelut yang mengancam dunia. Dia tetap saja Presiden AS yang tunduk pada kekerasan yang diumbar negara sahabat terdekatnya itu atau Negara yang tunduk pada AS dan dianggap koalisinya yg dapat diajak kerjasama yang dapat menguntungkan kebijakan AS. Bahkan, nuraninya tak tersentuh saat mendengar belasan manusia dibantai di laut lepas tanpa ampun. AS tetap bungkam dan hanya bisa melihat dengan sebelah mata dari Gedung Putih.

0 komentar:

Posting Komentar